Senin, 07 Oktober 2013

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

   Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
 Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), bukan menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
Pembelajaran Contextual Teaching and Learning juga mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
            Karakteristik pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) 1. Menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif. 2. Siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi dan saling menerima dan memberi. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran. 3.Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil, sedangkan dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak. 4. Kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan. 5. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri, sedangkan dalam pembelajaran sekonvensional, tujuan akhir adalah nilai atau angka. 6. Tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional, tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman atau sekedar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru. 7. Pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain. 

  D.P.  Sanjaya W (2007) Strategi Pembelajaran, Jakarta,Predana Medi Group.
 

Kamis, 18 April 2013

Hak Asasi manusia

UUD 1945 Tentang HAM 1. Setiap warga negara berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya 2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melaui perkawinan yang sah 3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi 4. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia 5. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya 6. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum 7. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja 8. Setiap warganegara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan 9. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan 10. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meinggalkannya serta berhak kembali 11. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya 12. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat 13. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan meyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia 14. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakuatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi 15. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. 16. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan 17. Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan 18. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat 19. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun 20. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

Kamis, 11 April 2013

KEPRIBADIAN

2. Kepribadian OLEH DRA.RAISAHSURBAKTI,MPD Istilah personality berasal dari kata latin “persona” yang berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Bagi bangsa Roma, “persona” berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain. Menurut Agus Sujanto dkk (2004), menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik.nSedangkan personality menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku,minat, pendiriran, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain. Allport juga mendefinisikan personality sebagai susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri individu, yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap lingkungan. Sistem psikofisik yang dimaksud Allport meliputi kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional, perasaan dan motif yang bersifat psikologis, tetapi mempunyai dasar fisik dalam kelenjar, saraf, dan keadaan fisik anak secara umum. Menurut Alport dalam Setyobroto (2005) kepribadian merupakan organisasi dinamis meliputi sistem psiko-fisik yang menentukan ciri-ciri tingkah laku yang tercermin dalam cita-cita, watak, sikap dan sifat-sifat serta perbuatan manusia”.Dalam konteks organisasi, kepribadian didefinisikan oleh Kreitner dan Kinicki (2005) sebagai gabungan ciri fisik dan mental yang relative stabil yang memberi kesan identitas pada individu. Ciri-ciri ini termasuk bagaimana penampilan, pikiran, tindakan, dan perasaan seseorang merupakan hasil dari pengaruh genetik dan lingkungan yang saling berinteraksi. Robbins (2007) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam sistem psikologis individu yang menentukan caranya untuk menyesuaikan diri secara unik terhadap lingkungannya. Dari pengertian pengertian kepribadian di atas maka kepribadian menurut peneliti adalah tingkah laku seseorang termasuk bagaimana penampilan, pikiran, tindakan, dan perasaan seseorang merupakan hasil dari pengaruh genetik dan lingkungan yang saling berinteraksi Faktor-Faktor Pembentuk Kepribadian Faktor Keturunan Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu. Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir. Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi. Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan. Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan. Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut. Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah. Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis. Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama. Faktor Lingkungan Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang. Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain. Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier. (Robbins, 2007):memberi defenisi karakteristik kepribadian seseorangsebagaiberikut : 1. Ekstraver versus Introvert. Individu dengan karakteristik ekstravert digambarkan sebagai individu yang ramah, suka bergaul, dan tegas. Sedangkan individu dengan karakteristik introvert digambarkan sebagai individu yang pendiam dan pemalu 2. Sensitif versus Intuitif. Individu dengan karakteristik sensitif digambarkan sebagai individu yang praktis dan lebih menyukai rutinitas dan urutan. Mereka berfokus pada detail. Sebaliknya, individu dengan karakteristik intuitif mengandalkan proses-proses tidak sadar dan melihat gambaran umum 3. Pemikir versus Perasa. Individu yang termasuk dalam karakteristik pemikir menggunakan alasan dan logika untuk menganangi masalah, sednagkan individu dengan karakteristik perasa mengandalkan nilai-nilai dan emosi pribadi mereka 4. Memahami versus Menilai. Individu yang cenderung memiliki karakteristik memahami menginginkan kendali dan lebih suka dunia mereka teratur dan terstruktur, sedangkan individu dengan karakteristik menilai cenderung lebih fleksibel dan spontan. Model Kepribadian Lima Besar (Kepribadian the Big Five) Kepribadian lima besar meliputi ekstaversi (extravertion), mudah akur atau mudah bersepakat (agreeableness), sifat berhati-hati (conscientiousness), stabilitas emosi (emotional stability), dan terbuka terhadap hal-hal baru (openness to experience). 1. Esktraversi. Dimensi ini mengungkapkan bahwa tingkat kenyamanan seseorang dalam berhubungan dengan individu lain. Individu yang memiliki sifat ekstraversi cenderung suka hidup berkelompok, tegas, dan mudah bersosialisasi. Sebaliknya individu yang memiliki sifat introvert cenderung suka menyendiri, penakut dan pendiam. 2. Mudah akur atau bersekapakat. Dimensi merujuk pada kecenderungan individu untuk patuh terhadap individu lainnya. Individu sangat mudah bersepakat adalah individu yang tidak mudah bersepakat cenderung bersikap dingin, tidak ramah, dan suka menentang. 3. Sifat kehati-hatian. Dimensi ini merupakan ukuran kepercayaan. Individu yang sangat berhati-hati adalah individu yang bertanggungjawab, teratur, dapat diandalkan, dan gigih. Sebaliknya, individu dengan dengan sifat kehati-hatian yang rendah cenderung mudah bingung, tidak teratur, dan tidak bisa diandalkan. 4. Stabilitas emosi. Sering juga disebut berdasarkan kebalikannya yaitu neurosis. Dimensi ini menilai kemampuan seseorang untuk menahan stres. Individu dengan stabilitas emosi positif cenderung tenang, pecaya diri dan memiliki pendirian yang teguh. Sementara individu dengan stabilitas emosi yang negatif cenderung mudah gugup, khawatir, depresi, dan tidak memiliki pendirian yang teguh. 5. Terbuka terhadap hal-hal baru. Dimensi ini merupakan dimensi terakhir yang mengelompokkan individu berdasarkan lingkup minat dan ketertarikannya terhadap hal-hal baru. Individu yang sangat terbuka, kreatif, ingin tau dan sensitif terhadap hal yang bersifat seni. Sebaliknya mereka yang tidak terbuka cenderung memiliki sifat konvensional dan merasa nyaman dengan hal-hal yang telah ada.

KONTRIBUSI OCB PADA TENAGA KEPENDIDIKAN

KONTRIBUSI OCB PADA TENAGA KEPENDIDIKAN OLEH DRA RAISAH SURBAKTI,MPD OCB sebagai prilaku yang mampu meningkatkan kwalitas pendidikan, sehingga mampu mencapai peningkatkan kemampuan akademik, profesionalitas dan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini harus dibarengi dengan peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sesuai UU No.20 Tahun 2003 (Sisdiknas, pasal 3). Penelitian tentang OCB di Indonesia tampaknya belum serius dilakukan, padahal topik ini sudah banyak dibicarakan dalam pembahasan terkait penanaman karakter, rasa nasionalisme dan perilaku organisasi yang digalakkan akhir-akhir ini, bahkan telah menjadi salah satu variabel dependen utama dalam penelitian perilaku organisasi (Robbins, 2001). Alasan di atas mendasari penelitian OCB ini. Selain itu, penelitian OCB sangat penting dilakukan di Indonesia karena akhir-akhir ini banyak organisasi di Indonesia menerapkan sistem tim kerja untuk mencapai visi organisasi dalam hal ini tenaga kependidikan agar mampu meningkatkan kwalitas pendidikan. Mark, et al (2002), meneliti tentang “Organizational Citizenship Behavior and Social Capital in Organization” menemukan bahwa OCB memiliki hubungan positif dengan kinerja organisasi. Dihasilkan pula bahwa OCB adalah penting karena membantu membangun social capital yang pada akhirnya memfasilitasi kinerja organisasi. Organization citizenshi behavior atau OCB merupakan prilaku yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan, untuk dapat meningkatkan OCB karyawan maka sangat penting bagi organisasi untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya atau meningkatnya OCB. Menurut Siders et.al. (2001) meningkatnya perilaku OCB dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri karyawan (internal) seperti moral, rasa puas, sikap positif, dsb sedangkan faktor yang berasal dari luar karyawan (eksternal) seperti sistem manajemen, sistem kepeminpinan, budaya perusahaan. Prilaku OCB dapat dipengaruhi dari internal dan eksternal, peneliti menduga faktor internal yang mempengaruhi OCB adalah komitmen pada organisasi dan kepribadian, sementara faktor eksternal OCB adalah motivasi dan lingkungan kerja. Peneliti berpendapat bahwa kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap OCB karyawan. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi OCB: Komitmen organisasi, kepribadian, motivasi dan lingkungan kerja. 1. Komitmen Organisasi Menurut Robbins dan Coulter (2006), komitmen organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada tujuan-tujuan suatu organisasi tertentu dan berharap untuk dapat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut. Menurut Stevens et al. (dalam Morris, 2004) konsep komitmen organisasi dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu pendekatan pertukaran dan pendekatan psikologi. Pendekatan pertukaran memiliki beberapa kelemahan yaitu pengukuran komitmen karyawan diukur dari keinginannya untuk meninggalkan perusahaan dan bekerja pada perusahaan lainnya. Kelemahan kedua yaitu pendekatan transaksi ini kurangnya dasar bukti-bukti empirik karena selama ini penelitian lebih difokuskan pada pencarian anteseden variabel ini. Pendekatan psikologi dikonsepkan perrtama kali oleh Porter dan Smith. Menurut Porter dan Smith, komitmen adalah orientasi aktif dan positif terhadap organisasi. Berdasarkan pendapat ini komitmen meliputi 3 komponen orientasi yaitu identifikasi tujuan dan nilai-nilai organsasi, keterlibatan yang tinggi dalam lingkungan kerja dan kesetiaan pada organisasi. Meyer and Allen, dalam (Luthans, 2006) membagi komitmen menjadi tiga kelompok yaitu :1. Komitmen afektif. Komitmen afektif mengacu pada emosi yang melekat pada dairi karyawan untuk mengidentifikasi dan melibatkan dirinya dengan organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat cenderung secara terus menerus akan setia pada organisasi karena memang begitu keinginan mereka yang sebenarnya ada dalam hati mereka. 2 Komitmen normative. Komitmen normatif mengacu pada refleksi perasaannya akan kewajibannya untuk menjadi karyawan perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka memang seharusnya tetap bekerja pada organisasi tempat mereka bekerja sekarang. 3. Komitmen berkelanjutan. Komitmen yang berkelanjutan mengacu kepada kesadaran karyawan yang berkaitan dengan akibat meninggalkan organisasi. Pengaruh yang signifikan dari komitmen organisasi terhadap OCB sejalan dengan hasil penelitian Scholl (1981) dan Schappe (1998) yang menemukan bahwa komitmen organisasi merupakan prediktor OCB yang lebih signifikan dibandingkan kepuasan kerja. Debora dan Purba (2004) tentang “Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behavior” menunjukkan bahwa komponen organisasi yang berpengaruh terhadap OCB adalah komitmen afektif dan komitmen berkelangsungan. Sedangkan komitmen normatif tidak memiliki hubungan dengan OCB. Kathryn Sunarko (2010) hasil penelitian dalam jurnalnya, komitmen Organisasi secara simultan berkontribusi signifikan terhadap Organizational Citizenship Behaviour sebesar 89,7% dan sisanya 10,3% dipengaruhi oleh faktor lain di luar penelitian. Penelitian lain pengaruh yang signifikan dari komitmen organisasi terhadap OCB. Komitmen organisasi (O’Reilly and Chatman, 1986; Eisenberger et al., 1990; Organ, 1990; Truckenbrodt, 2000). 2. Kepribadian Kepribadian adalah sebuah karakteristik di dalam diri individu yang relatif menetap, bertahan, yang mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap lingkungan. Stephen P Robbins (2008) mengartikan kepribadian sebagai suatu konsep yang dinamis yang mendeskripsikan pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem psikologi. Kepribadian karyawan ini akan menjadi sangat penting diketahui karena kepribadian karyawan akan mempengaruhi prilaku-prilaku karyawan tersebut. Kepribadian mempengaruhi OCB, Kepribadian (misalnya kesadaran dan keramahan), kemampuan, pengalaman, pelatihan, pengetahuan, ketidak pedulian dengan penghargaan, dan kebutuhan untuk otonomi (Podsakoff et al., 2000), Kepribadian juga diharapkan menjadi prediktor pada kinerja karyawan pada situasi dimana harapan manajemen agar karyawan menampilkan kinerja tersebut tidak terdefinisi dengan jelas, seperti pada perilaku-perilaku OCB. Di samping itu, karena karakteristik bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tolong-menolong (Koentjaraningrat dalam Adriansyah, 2003) Debora dan Purba (2004) tentang “Pengaruh Kepribadian Terhadap Organizational Citizenship Behavior”. Selain itu juga hasil penelitian terdahulu selalu mengindikasikan adanya hubungan antara kepribadian dengan OCB, (Smith et al., 1983; Van Dyne et al., 1994; Organ and Lingl, 1995; Holmes et al., 2002).Disisi lain kepribadian dapat juga mempengaruhi motivasi. Kepribadian sebagai sebagai sifat bawaan, kepribadian ini merupakan sifat bawaan, namun juga dipengaruhi lingkungan, termasuk dalam lingkungan adanya motivasi, dimana motivasi sebagai pendorong untuk melakukan yang terbaik pada organisasinya. Stephen P Robbins – Timothy A Judge (2008) kepribadian seseorang faktor keturunan dan lingkungan . Model Colquitt- LetPine-Weson (2009) menggambarkan adanya pengaruh kepribadian (personality) terhadap motivasi. Motivasi ini juga dapat mempengaruhi prilaku OCB. 3. Motivasi Stephen P Robbins (2008) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual. Siagian (2002) mengemukakan bahwa dalam kehidupan berorganisasi, termasuk kehidupan berkarya dalam organisasi bisnis, aspek motivasi kerja mutlak mendapat perhatian serius dari para manajer. Karena 4 (empat) pertimbangan utama yaitu: (1) Filsafat hidup manusia berkisar pada prinsip “quit proquo”, yang dalam bahasa awam dicerminkan oleh pepatah yang mengatakan “ada ubi ada talas, ada budi ada balas”, (2) Dinamika kebutuhan manusia sangat kompleks dan tidak hanya bersifat materi, akan tetapi juga bersifat psikologis, (3) Tidak ada titik jenuh dalam pemuasan kebutuhan manusia, (4) Perbedaan karakteristik individu dalam organisasi atau perusahaan, mengakibatkan tidak adanya satupun teknik motivasi yang sama efektifnya untuk semua orang dalam organisasi juga untuk seseorang pada waktu dan kondisi yang berbeda-beda. Motivasi diduga mempengaruhi OCB. Hasil penelitian terdahulu selalu mengindikasikan adanya hubungan antara motivasi dengan OCB (Folger, 1993). Selain motivasi yang mempengaruhi prilaku OCB, juga lingkungan kerja mempengaruhi prilaku OCB seseorang 4. Lingkungan Kerja Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang fisik di sekitar para pekerja dan dapat memepengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankanya (Nitisemito, 1996). Sedangkan menurut (Marbun, 2003) Lingkungan kerja adalah semua faktor fisik, psikologis, sosial jaringan dan hubungan yang berlaku dalam organisasi dan terpengaruh terhadap karyawan. Lingkungan kerja mempengaruhi OCB, dalam hal ini Ahyari (1999) mengemukakan bahwa lingkungan kerja dalam perusahaan mempunyai pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja dalam melaksanakan tugas. Sebaliknya lingkungan kerja yang kurang baik akan menyebabkan semangat dan kegairahan kerja menurun. Berdasarkan hasil penelitian, Rini (2010) kondisi lingkunan kerja fisik dari CV. Karya Mina Putra Rembang dalam kondisi yang baik sehingga dapat menunjang aktivitas kartawan. Kondisi seperti penerangan, warna pengecatan, keamanan lokasi dan ketenangan lokasi dapat diperoleh pada perusahaan meskipun masalah kebersihan masih belum baik. Hal ini menjelaskan bahwa lingkungan kerja fisik memegang cukup peranan penting dalam organisasi, karena secara tidak langsung dapat mempengaruhi keberhasilan suatu proses memperoleh output yang dilakukan secara bersama. Adanya lingkungan kerja fisik yang baik akan memuaskan bagi karyawan dan menjadi dasar pada peningkatan efektivitas dalam pekerjaan. Gibson dan Ivanevich (1997), menyatakan bahwa ”persepsi terhadap lingkungan kerja merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam lingkungan organisasi dan mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan”.Lingkungan kerja dalam suatu organisasi dalam hal ini sekolah sangat penting untuk perhatian manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksanakan proses hasil dalam suatu sekolah, namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap para karyawan yang melaksanakan proses hasil tersebut. Lingkungan kerja yang memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan. Hasil penelitian terdahulu selalu mengindikasikan adanya hubungan antara lingkungan kerja dengan OCB. Seperti yang dinyatakan oleh Podsahasff dan McKenzie dalam Elfina (2003) bahwa OCB dapat memberikan manfaat pada organisasi dalam hal meningkatkan kemampuan organisasi dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang menyenangkan akan mempengaruhi motivasi kerja tenaga kependidikan. Hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara lingkungan kerja terhadap Motivasi dapat terbukti. Hasil ini sekaligus mendukung dan membuktikan teori dan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Gibson (1996), Holahan (1982), McCornik (dalam Mangkunegara, 2002), Fisher (2002). Penelitian yang dilakukan Lam, et al (2000) menjelaskan bahwa lingkungan kerja berpengaruh terhadap motivasi karyawan. Peningkatan dan pengembangan lingkungan kerja yang meliputi pengembangan fisik tempat kerja, pengembangan skill dan manajemen mempunyai hubungan yang signifikan terhadap motivasi kerja karyawan. Foster (1999) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa dengan menciptakan lingkungan kerja yang baik para karyawan akan termotivasi untuk melakukan pekerjaan yang sebaik-baiknya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan bahwa pola hubungan antara variabel lingkungan kerja terhadap motivasi menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan. Lingkungan kerja dirancang oleh manajemen dapat mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi positif bagi perusahaan dimana karyawan bekerja.Setelah para karyawan termotivasi, para karyawan akan memiliki komitmen dalam kerjanya. Model Colquitt- LetPine-Weson (2009) menggambarkan adanya pengaruh motivasi terhadap komitmen organisasi. Motivasi sebagai keinginan untuk melakukan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, sehingga komitmen karyawan untuk mensukseskan organisasi akan tumbuh sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut, motivasi didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Dengan demikian, motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar, dengan adanya motivasi sehingga terjadi orientasi aktif dan positif terhadap organisasi. Sekolah menengah atas adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah menengah atas ditempuh dalam waktu 3 tahun. SMA diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan SMA negeri di Indonesia berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural. Sekolah menengah atas telah ada yang telah menjurus pada kehidupan skill, yaitu sekolah menengah kejuruan pada sekolah menengah kejuruan di dalamnya ada program pengembangan diri dalam bentuk kegiatan konseling tentang kehidupan karir kejuruan, belajar, pribadi, dan sosial. SMK adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara SMP/MTs. Pengertian lain SMK adalah sekolah yang dibangun atau didirikan untuk menciptakan lulusan agar siap kerja sesuai dengan minat dan bakatnya. Berdasarkan pengertian tersebut, jelas bahwa SMK memfokuskan pada suatu bidang studi keahlian atau program pendidikan tertentu yang disesuaiakan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Madrasah Aliyah adalah suatu sekolah Islam modern, walau madrasah aliyah sebagai sekolah sekolah Islam, madrasah aliyah memiliki perspektif modern dan kurikulum madrasah aliyah mencampur di antara islam dan kurikulum nasional. Di kota Padangsidimpuan terdapat delapan SMA Negeri, dan dua SMK negeri, dan dua MAN, ke dua belas sekolah ini menampung beribu siswa dari berbagai kabupaten di sekitarnya. Kondisi para pegewai di sekolah menengah atas negeri di Kota Padangsidimpuan dalam menjalan tugas sebagai tenaga kependidikan masih belum maksimal, ditandai dengan ketuntasan tugas tugas administrasi masih sering tertunda, dalam melaksanakan kegiatan sering dilaksanakan instan tanpa perencanaan yang matang, di lihat dari ketepatan waktu dalam kehadiran masih belum tepat waktu, ini pertanda motivasi kerja dan disiplin para pegawai masih rendah, lingkungan kerja juga adanya kurang saling membantu untuk ketuntasan kecepatan menyelesaikan tugas. Tidak adanya keinginan meningkatkan kualitas kerja walau sudah telah mengikuti kegiatan pelatihan. Kondisi permasalah diatas tidak terlepas dari diri pegawai itu sendiri yakni kepribadiannya, motivasi, komitmen, dan prilaku untuk membantu mencapai ketutasan kinerja manajemen pendidikan untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan. DAFTAR PUSTAKA Adriansyah, A. 2003. “Pengaruh kebudayaan suku bangsa terhadap hubungan antara perilaku pemimpin dengan kepuasan kerja bawahan: Kajian pada kelompok kebudayaan suku Jawa dan Minang.” Psikologi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ali Imron (2009), Prilaku Tenaga Administrasi Sekolah Dalam Pelayanan Publik di Tingkat Satuan Pendidikan, Universitas Negeri Malang; Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4 Anan Sutisna (1987), Uji Kompetensi dan Program Sertivikasi Bagi Pendidik DanTenaga Kependidikan Di Luar Sekolah; JurnaL Ilmiah.Visi PTK PNF Vol 2- No.1 Andreas Budiharjo (2011). Organisasi : Menuju Pencapaian Kinerja Optimum. Jakarta : Prasetya Mulya Publishing Asep Mahpudz dkk (2009), Analisis Kebijakan Dan Kelayakan Mutu Tenaga Pendidik Dalam Rangka Meningkatkan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Di Provinsi Sulawesi Tengah. Sulteng, Bekerjasama dengan Balitbangda Prop. Sulteng dan Tim Peneliti Universitas Tadulako Palu1.Media Litbang Bateman, T.S. and Organ, D.W., 1983. Job satisfaction and the good soldier: the Relationship between affect and citizenship. Academy of Management Journal, 26, 587- 595. Colquitt- LetPine-Weson (2009) Prilaku Organisasi Buku 1Edisi 12. Salemba Empat, Jakarta. Depdiknas (2003), Undang Undang no 20 tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Jakarta Depdiknas Enceng Mulyana ( ) Akselerasi Peningkatan Kompetensi Dan Tenaga Kependidikan Non Formal; JurnaL Ilmiah.Visi PTK PNF Vol 2- No.2 Eisenberger, R., Fasolo, P., & Davis-LaMastro, V. 1990. Perceived organizational support and employee diligence, commitment and innovation. Journal of Applied Psychology, 75: 51-59. Fisher, Cynthia D., Lile F Schoenfeld & James B. Shaw. 1993. Human Resource Management, Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston. Fu'adz Al-Gharuty,2009, Fungsi dan Peranan Tenaga Kependidikan Lainnya dalam Menunjang Kelancaran dan Keberhasilan Pembelajaran di Sekolah Gemmiti, M. (2007). The Relation Between Organizational Commitment, Organizational Identification and Organizational Citizenship Behavior. Seminar Paper. Jerman : National bibliografie Greenberg, J. & Baron Greenberg, J. & Baron, R.A. (2003). Behavior in Organization. Eight Edition. New Jersey: Pearson Education Inc Kathryn Sunarko (2010) Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja dn Komitmen Organisasi Terhadap Organization Citizenship Behavior Serta Dampaknya Pada Retensi Karyawan Pada PT. KALAM MULIA ABADI; Binus University, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia Konovsky, M. A., & Pugh, S. D. (1994). Citizenship behavior and social exchange. Academy of Management Journal, 37, 656- Konovsky, M.A., & D.W. Organ. 1995. “Disposisional and contextual determinants of organizational citizenship behaviour” In press, Journal of Organizational Behavior. Konovsky, M. A., & Organ, D. W. (1996). Dispositional and contextual determinants of organizational citizenship behavior. Journal of Organizational Behavior, 17, 253-266. Luthans, Fred (2006). Perilaku Organisasi Edisi 10. ANDI, Yogyakarta. Mangkunegara, Prabu A., 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit PT. Remaja Rosda Karya, Bandung. Marbun, 2003, “Kamus Manajemen”,Pustaka sinar harapan, Jakarta. Meyer, J.P., N.J. Allen., & C.A. Smith. 1993.“Commitment to organizational and occupations: Extension and test of a three-component conceptualization”, dalam Journal of Applied Psychology. 78, halaman: 538 – 551. Morris, J. H and Steers, R.M. (2004). Structural Influence on Organizational Commitment. Journal of Vocational Behavior, 17, 50 – 57 Nitisemito, 1996, “Manajemen Personalia”, Ghalia Indonesia, Jakarta. Organ, Dennis W., et.al. (2006) Organizational Citizenship Behavior. Its Nature, Antecendents, and Consequences. California: Sage Publications, Inc. Organ, D.W. 1988. Organizational Citizenship Behavior: The Good Soldier Syndrome. Lexinton book. Lexington,MA Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Paine, J.B. and Bachrach, D.G. (2000), “Organizational citizenship behaviors: a critical review of the theoretical and empirical literature and suggestions for future research”, Journal of Management, Vol. 26 No. 3, pp. 513-63. Purba, D.E. & Seniati, A.N.L. (2004). Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior. Makara, Sosial Humaniora, Vo. 8, No.3, Desember 2004. 105-111. Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior, (9th ed). New Jersey: Prentice- Hall.Robbinss Stephen P., 2002. Essentials of Organizational Behavior (Terjemahan), Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta. Robinns, Stephen P dan Timothy A.Judge. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1Edisi 12. Salemba Empat, Jakarta. Rini .2010. Pengaruh Kepemimpinan, Motivasi dan Lingkungan Kerja Fisik Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada CV. Karya Mina Putra rembang Devisi Kayu) Scholl, R.W. 1981. “Differentiating organizational commitment from expectancy as a motivating force”, dalam Academy of Management Review. 6, halaman:589 – 599. Siagian Sondang P., 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Cetakan Pertama, PT.Rineka Cipta, Jakarta. Schappe, S.P. 1998. “The influence of job satisfaction, organizational commitment, and fairness perceptions on organizational citizenship behavior”, dalam Journal of Psychology. 132, halaman: 277 – 291. Steers, R.M., L.W. Porter. & G.A. Bigley. 1996.Motivation and leadership at work. New York: McGraw-Hill. Van Dyne, L., Cummings, L.L. and McLean Parks, J. (1995), “Extra-role behaviors: in pursuit of construct and definitional clarity”, Research in Organizational Behavior, Vol. 17 No. 1, pp. 215-85

KAJIAN PUSTAKA OCB

KAJIAN PUSTAKA OCB Organ mengintroduksi Konsep OCB menciptakan gelombang perubahan besar dalam bidang perilaku organisasi Garg dan Rastogi,(2006). Konsep ini mengarahkan organisasi menjadi lebih inovatif, fleksibel, produktif, dan responsive (Garg dan Rastogi, 2006; Koberg dan Boss, 2005). Organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas biasa mereka yang yang akan memberikan kinerja yang melebihi harapan. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti sekarang ini, dimana tugas semakin sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting, organisasi menjadi sangat membutuhkan karyawan yang mampu menampilkan perilaku kewargaan organisasi yang baik, seperti membantu individu lain dalam tim, memajukan diri untuk melakukan pekerjaan esktra, menghindari konflik yang tidak perlu, menghormati semangat dan isi peraturan, serta dengan besar hati mentoleransi kerugian dan gangguan terkait dengan pekerjaan yang terjadi. Organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas biasa mereka yang yang akan memberikan kinerja yang melebihi harapan. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti sekarang ini, dimana tugas semakin sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas sangatlah penting, organisasi menjadi sangat membutuhkan karyawan yang mampu menampilkan perilaku kewargaan organisasi yang baik, seperti membantu individu lain dalam tim, memajukan diri untuk melakukan pekerjaan esktra, menghindari konflik yang tidak perlu, menghormati semangat dan isi peraturan, serta dengan besar hati mentoleransi kerugian dan gangguan terkait dengan pekerjaan yang terjadi. Organization citizenshi behavior atau OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan, yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi; melainkan sebagai pilihan personal (Podsakoff, dkk, 2000) l. Morman dan Blakely (Elanain, 2007) menambahkan OCB adalah perilaku yang sering dilakukan oleh karyawan untuk mendukung kepentingan organisasi meskipun mereka mungkin tidak secara langsung mengarah pada keuntungan individu. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB dapat mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan. Pertama, OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja. Kedua, OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial. Ketiga, OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan produktif. Keempat, OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan. Kelima, OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antara anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja. Keenam, OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan SDM-SDM handal dengan memberikan kesan bahwa organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih menarik. Ketujuh, OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi. Contoh perilaku yang termasuk kelompok OCB adalah membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan ekstra di tempat kerja, menghindari konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku di organisasi, toleransi pada situasi yang kurang ideal/menyenangkan di tempat kerja, memberi saran-saran yang membangun di tempat kerja, serta tidak membuang-buang waktu di tempat kerja (Robbins, 2001). Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah sikap membantu yang ditunjukkan oleh anggota organisasi, yang sifatnya konstruktif, dihargai oleh perusahaan tapi tidak secara langsung berhubungan dengan produktivitas individu (Bateman & Organ dalam Steers, Porter, Bigley, 1996). Menurut Organ (1988), OCB merupakan bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman. Menurut Budiharjo (2004) mengemukakan bahwa OCB memiliki karakteristik perilaku sukarela/extra-role behavior yang tidak termasuk dalam uraian jabatan, perilaku yang bersifat menolong, serta perilaku yang tidak mudah terlihat serta dinilai melalui evaluasi kinerja. Menurut Organ (Purba dan Seniati, 2004), OCB terdiri dari lima dimensi yaitu (1) altruism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditujukan kepada individu dalam suatu organisasi, (2) courtesy, yaitu membantu teman kerja mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka, (3) sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa mengeluh, (4) civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup organisasi, (5) conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi – seperti mematuhi peraturan-peraturan di organisasi. Berdasarkan defenisi, ciri prilaku OCB dan pendapat para fakar, maka prilaku OCB sebagai prilaku yang mampu meningkatkan kwalitas pendidikan, sehingga mampu mencapai peningkatkan kemampuan akademik, profesionalitas dan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini harus dibarengi dengan peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sesuai UU No.20 Tahun 2003 (Sisdiknas, pasal 3). Penelitian tentang OCB di Indonesia tampaknya belum serius dilakukan, padahal topik ini sudah banyak dibicarakan dalam pembahasan terkait penanaman karakter, rasa nasionalisme dan perilaku organisasi yang digalakkan akhir-akhir ini, bahkan telah menjadi salah satu variabel dependen utama dalam penelitian perilaku organisasi (Robbins, 2001). Alasan di atas mendasari penelitian OCB ini. Selain itu, penelitian OCB sangat penting dilakukan di Indonesia karena akhir-akhir ini banyak organisasi di Indonesia menerapkan sistem tim kerja untuk mencapai visi organisasi dalam hal ini tenaga kependidikan agar mampu meningkatkan kwalitas pendidikan. Mark, et al (2002), meneliti tentang “Organizational Citizenship Behavior and Social Capital in Organization” menemukan bahwa OCB memiliki hubungan positif dengan kinerja organisasi. Dihasilkan pula bahwa OCB adalah penting karena membantu membangun social capital yang pada akhirnya memfasilitasi kinerja organisasi. Organization citizenshi behavior atau OCB merupakan prilaku yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan, untuk dapat meningkatkan OCB karyawan maka sangat penting bagi organisasi untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya atau meningkatnya OCB. Menurut Siders et.al. (2001) meningkatnya perilaku OCB dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri karyawan (internal) seperti moral, rasa puas, sikap positif, dsb sedangkan faktor yang berasal dari luar karyawan (eksternal) seperti sistem manajemen, sistem kepeminpinan, budaya perusahaan. Prilaku OCB dapat dipengaruhi dari internal dan eksternal, peneliti menduga faktor internal yang mempengaruhi OCB adalah komitmen pada organisasi dan kepribadian, sementara faktor eksternal OCB adalah motivasi dan lingkungan kerja. Peneliti berpendapat bahwa kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap OCB karyawan. DAFTAR PUSTAKA Adriansyah, A. 2003. “Pengaruh kebudayaan suku bangsa terhadap hubungan antara perilaku pemimpin dengan kepuasan kerja bawahan: Kajian pada kelompok kebudayaan suku Jawa dan Minang.” Psikologi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ali Imron (2009), Prilaku Tenaga Administrasi Sekolah Dalam Pelayanan Publik di Tingkat Satuan Pendidikan, Universitas Negeri Malang; Jurnal Tenaga Kependidikan Vol. 4 Anan Sutisna (1987), Uji Kompetensi dan Program Sertivikasi Bagi Pendidik DanTenaga Kependidikan Di Luar Sekolah; JurnaL Ilmiah.Visi PTK PNF Vol 2- No.1 Andreas Budiharjo (2011). Organisasi : Menuju Pencapaian Kinerja Optimum. Jakarta : Prasetya Mulya Publishing Asep Mahpudz dkk (2009), Analisis Kebijakan Dan Kelayakan Mutu Tenaga Pendidik Dalam Rangka Meningkatkan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Di Provinsi Sulawesi Tengah. Sulteng, Bekerjasama dengan Balitbangda Prop. Sulteng dan Tim Peneliti Universitas Tadulako Palu1.Media Litbang Bateman, T.S. and Organ, D.W., 1983. Job satisfaction and the good soldier: the Relationship between affect and citizenship. Academy of Management Journal, 26, 587- 595. Colquitt- LetPine-Weson (2009) Prilaku Organisasi Buku 1Edisi 12. Salemba Empat, Jakarta. Depdiknas (2003), Undang Undang no 20 tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Jakarta Depdiknas Enceng Mulyana ( ) Akselerasi Peningkatan Kompetensi Dan Tenaga Kependidikan Non Formal; JurnaL Ilmiah.Visi PTK PNF Vol 2- No.2 Eisenberger, R., Fasolo, P., & Davis-LaMastro, V. 1990. Perceived organizational support and employee diligence, commitment and innovation. Journal of Applied Psychology, 75: 51-59. Fisher, Cynthia D., Lile F Schoenfeld & James B. Shaw. 1993. Human Resource Management, Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston. Fu'adz Al-Gharuty,2009, Fungsi dan Peranan Tenaga Kependidikan Lainnya dalam Menunjang Kelancaran dan Keberhasilan Pembelajaran di Sekolah Gemmiti, M. (2007). The Relation Between Organizational Commitment, Organizational Identification and Organizational Citizenship Behavior. Seminar Paper. Jerman : National bibliografie Greenberg, J. & Baron Greenberg, J. & Baron, R.A. (2003). Behavior in Organization. Eight Edition. New Jersey: Pearson Education Inc Kathryn Sunarko (2010) Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja dn Komitmen Organisasi Terhadap Organization Citizenship Behavior Serta Dampaknya Pada Retensi Karyawan Pada PT. KALAM MULIA ABADI; Binus University, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia Konovsky, M. A., & Pugh, S. D. (1994). Citizenship behavior and social exchange. Academy of Management Journal, 37, 656- Konovsky, M.A., & D.W. Organ. 1995. “Disposisional and contextual determinants of organizational citizenship behaviour” In press, Journal of Organizational Behavior. Konovsky, M. A., & Organ, D. W. (1996). Dispositional and contextual determinants of organizational citizenship behavior. Journal of Organizational Behavior, 17, 253-266. Luthans, Fred (2006). Perilaku Organisasi Edisi 10. ANDI, Yogyakarta. Mangkunegara, Prabu A., 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit PT. Remaja Rosda Karya, Bandung. Marbun, 2003, “Kamus Manajemen”,Pustaka sinar harapan, Jakarta. Meyer, J.P., N.J. Allen., & C.A. Smith. 1993.“Commitment to organizational and occupations: Extension and test of a three-component conceptualization”, dalam Journal of Applied Psychology. 78, halaman: 538 – 551. Morris, J. H and Steers, R.M. (2004). Structural Influence on Organizational Commitment. Journal of Vocational Behavior, 17, 50 – 57 Nitisemito, 1996, “Manajemen Personalia”, Ghalia Indonesia, Jakarta. Organ, Dennis W., et.al. (2006) Organizational Citizenship Behavior. Its Nature, Antecendents, and Consequences. California: Sage Publications, Inc. Organ, D.W. 1988. Organizational Citizenship Behavior: The Good Soldier Syndrome. Lexinton book. Lexington,MA Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Paine, J.B. and Bachrach, D.G. (2000), “Organizational citizenship behaviors: a critical review of the theoretical and empirical literature and suggestions for future research”, Journal of Management, Vol. 26 No. 3, pp. 513-63. Purba, D.E. & Seniati, A.N.L. (2004). Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior. Makara, Sosial Humaniora, Vo. 8, No.3, Desember 2004. 105-111. Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior, (9th ed). New Jersey: Prentice- Hall.Robbinss Stephen P., 2002. Essentials of Organizational Behavior (Terjemahan), Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta. Robinns, Stephen P dan Timothy A.Judge. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1Edisi 12. Salemba Empat, Jakarta. Rini .2010. Pengaruh Kepemimpinan, Motivasi dan Lingkungan Kerja Fisik Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada CV. Karya Mina Putra rembang Devisi Kayu) Scholl, R.W. 1981. “Differentiating organizational commitment from expectancy as a motivating force”, dalam Academy of Management Review. 6, halaman:589 – 599. Siagian Sondang P., 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Cetakan Pertama, PT.Rineka Cipta, Jakarta. Schappe, S.P. 1998. “The influence of job satisfaction, organizational commitment, and fairness perceptions on organizational citizenship behavior”, dalam Journal of Psychology. 132, halaman: 277 – 291. Steers, R.M., L.W. Porter. & G.A. Bigley. 1996.Motivation and leadership at work. New York: McGraw-Hill. Van Dyne, L., Cummings, L.L. and McLean Parks, J. (1995), “Extra-role behaviors: in pursuit of construct and definitional clarity”, Research in Organizational Behavior, Vol. 17 No. 1, pp. 215-85